MENU

Menilai Sejarah Secara Utuh: Saatnya Bangsa Membaca Kembali Warisan Soeharto dengan Kedewasaan Kolektif

Oleh : Prof. Dr. Murpin Josua Sembiring.M.Si *)

Tetapi Sejarah Tidak Berhenti di Satu Warna

Sejarah juga mencatat adanya sisi gelap dalam rezim Orde Baru: pembatasan kebebasan sipil, kekuasaan yang terpusat, kekerasan politik, dan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang menguat pada fase akhir kekuasaan. Reformasi 1998 lahir sebagai koreksi atas hal-hal tersebut.

Mengakui ini bukan bentuk pelemahan bangsa. Justru, bangsa yang memilih untuk jujur terhadap sejarahnya adalah bangsa yang matang secara moral dan politik. Di titik inilah kedewasaan dibutuhkan: mengingat jasa tanpa meniadakan luka; mengakui luka tanpa menghapus kontribusi yang nyata.

Belajar dari Negara Lain: Antara Penghormatan dan Luka

Banyak negara mengalami dilema serupa mengenai penilaian ulang terhadap pemimpin masa lalu. Filipina, misalnya, menghadapi perdebatan panjang tentang Ferdinand Marcos. Ia akhirnya diizinkan dimakamkan di Heroes’ Cemetery karna rakyatnya menyimpulkan jasa besarnya antara lain: Program “Green Revolution” dan Swasembada Beras; Program Modernisasi PertahananPembangunan Infrastruktur ( Jembatan San Juanico Philippine Heart Center, Lung Center, Kidney Center dll) Skala Besar (1965–1975).Penyikapan pemerintah membingkai keputusan itu sebagai langkah rekonsiliasi memori bangsa, bukan pemutihan sejarah.

Tiongkok memperlakukan Mao Zedong sebagai pendiri negara, namun tetap mengakui kesalahan kebijakan seperti Great Leap Forward. Ingatan kolektif masyarakat Tiongkok terhadap Mao bertahan bukan karena ia tanpa cela, tetapi karena rakyat menilai fondasi negara modern berdiri atas kepemimpinannya.

Pelajaran pentingnya adalah: Bangsa besar tidak melupakan luka, tetapi juga tidak kehilangan kemampuan untuk menghormati jasa mantan Presidennya.

Bagaimana Indonesia Dapat Bersikap Dewasa?

Saatnya bangsa ini mempertimbangkan pengusulan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional, ada pendekatan yang rasional dan sesuai etik konstitusional.

Penilaian akademik independen , transparansi sejarah: membuka arsip, bukan menutupinya, ketiga penghormatan kepada korban: negara harus mengakui dan memberi ruang penyembuhan, dan pemisahan antara pengakuan jasa dan penyucian moral pribadi.

Dengan pendekatan ini, pemberian gelar bukan pemutihan dan bukan penghapusan luka maka ia menjadi tindakan rekonsiliasi memori nasional. Rekonsiliasi tidak berarti lupa namun rekonsiliasi berarti kita memilih untuk memahami dan maju sebagai bangsa yang utuh. Rekonsiliasi Bukan Pemutihan Sejarah.

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER