Bersama Keraton Kadriyah, Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman merupakan penanda berdirinya kota Pontianak. Hampir seluruh bangunannya yang indah terbuat dari kayu.
Wisata masjid adalah salah satu ritual yang paling saya sukai ketika berkunjung ke sebuah kota. Kendati semua masjid selalu memberi suasana sejuk dan syahdu, masing-masing masjid besar di berbagai kota selalu memiliki sesuatu yang tidak seragam. Di Masjid Raya Cirebon, misalnya, saya menghirup udara pantai yang hangat dengan suasana khas pedagang pesisir. Namun kesan paling kuat adalah sebuah kotak kayu besar yang diletakkan di bagian belakang shaf perempuan berukuran sekitar 100cm x 80cm setinggi dada orang dewasa. Kotak besar penuh berisi tas-tas mukena yang saya perkirakan jumlahnya ratusan. Dan yang membanggakan, semua mukena itu bersih dan wangi.
Di masjid kebanggaan kota Lintang Nol ini, bahkan sebelum kaki menginjak lantai kayunya, saya segera menangkap aroma kayu equator yang hangat dan tegas. Belian, kayu yang tahan ratusan tahun bahkan dalam kondisi terendam air.
Kayu yang biasa menyangga bangunan panggung, baik di darat maupun yang mengapung beberapa meter di atas muka air sungai/muara. Orang Palembang menyebutnya kayu ulin atau kayu besi.
Kayu, kayu dan kayu.. di mana-mana kayu. Dinding masjid bercat kuning terang itu disusun dari bilah-bilah papan yang satu pun tidak terlihat berlubang pada umurnya yang sudah lebih dari 2,5 abad. Kusen-kusen berwarna hijau turquise membentuk garis-garis lurus tanpa cacat kendati ketebalannya tidak istimewa.
Lantai coklat mengkilap yang saya injak juga tidak mendecitkan bunyi yang muncul dari kelengkungan akibat perubahan cuaca.
Mihrab pengimaman yang penuh ornamen, juga semua dari kayu.
Ah, mihrab itu begitu indah. Berbentuk geladak kapal, berhias kaligrafi tanpa ornamen ukir yang ruwet. Kaligrafi yang berpadu manis dengan garis-garis ringan dari lis-lis papan berwarna coklat terang. Tidak terkesan kuno, bahkan seperti nuansa bangunan minimalis kekinian.
Jika dinding luar dominan oleh warna kuning dengan tarikan garis-garis hijau dari kusen-kusennya, ruang dalam masjid dominan oleh warna hijau dan coklat kayu. Enam pilar utama yang menyangga kubah masjid di tengah-tengah bangunan, dicat warna putih kehijauan, merupakan kayu belian gelondongan berdiameter setengah meter. Kekohonan enam pilar utama itu didukung enam tiang penyangga lain yang berbentuk kotak.
Atap Masjid Kadriyah juga disusun dari kepingan-kepingan sirap kayu belian. Masjid ini memiliki empat tingkatan atap. Atap paling bawah yang langsung menaungi jamaah berbentuk limas. Atap pada tingkat kedua disangga puluhan jendela kaca yang berkilap-kilap memantulkan sinar dari matahari Pontianak yang terik. Atap pada tingkat ketiga didampingi empat anak menara pada setiap sudutnya. Dan posisi paling atas, puncak atap berbentuk kuncup bunga indah yang menyiratkan paduan budaya Melayu, Arab dan Hindu.
Jarak antara lantai masjid dengan tanah sekitar 50 centimeter. Namun menurut salah seorang penjaga masjid yang pada Kamis itu tengah membersihkan karpet-karpet untuk persiapan salat Jum’at esoknya, awalnya masjid itu berada di atas panggung setinggi kurang lebih 2 meter. Kini kolong masjid sudah dicor semen agar lantainya tidak semakin turun. Struktur tanah yang labil dan sebagian besar bergambut, menjadikan bangunan-bangunan di Pontianak gampang amblas.
Mengutip Wikipedia, Masjid Sultan Syarif Abdurrahman adalah masjid terbesar dan tertua di kota Pontianak, ibukota provinsi Kalimantan Barat yang didirikan pada 1771. Bersama Keraton Kadriyah, Masjid ini merupakan bangunan penanda berdirinya Kota Pontianak, karya Sultan pertama Pontianak, Syarif Abdurrahman.
Didirikan dengan atap rumbia berdinding kayu, masjid ini baru selesai pada masa pemerintahan putra mahkota Syarif Usman (1822 – 1855). Untuk menghormati jasa-jasa ayahnya, bangunan suci itu kemudian dinamakan Masjid Syarif Abdurrahman.
Syarif Abdurrahman meninggal pada 1808 Masehi, semasa Syarif Usman masih kanak-kanak sehingga jalannya pemerintahan sempat dipegang sementara oleh Syarif Kasim, adik Syarif Abdurrahman dan pembangunan masjid pun terhenti.
Beberapa ulama terkenal yang tercatat pernah mengajarkan agama Islam di masjid Jami’Sultan Abdurrahman antara lain Muhammad al-Kadri, Habib Abdullah Zawawi, Syekh Zawawi, Syekh Madani, H. Ismail Jabbar, dan H. Ismail Kelantan.
Masjid Jami’ Pontianak memiliki kapasitas sampai sekitar 1.500 jamaah salat. Masjid akan penuh terisi jamaah saat salat Jumat dan salat tarawih di bulan Ramadan. Masjid itu dikelilingi pasar ikan tradisional, dan Kampung Beting, pemukiman penduduk yang padat yang masuk kelurahan Dalam Bugis. Masjid ini menghadap sungai Kapuas yang lebar dan penuh aktivitas. (Nurur/IwanY)