SEMARANG, SERUJI.CO.ID – Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia harus tegas terhadap provider terkait dengan satu juta nomor induk kependudukan (NIK) untuk jutaan nomor prabayar, kata pakar keamanan siber Pratama Persadha.
Ketika menjawab pertanyaan wartawan di Semarang, Selasa (10/4), Pratama menegaskan bahwa provider (perusahaan penyedia berbagai layanan yang menyangkut internet) harus bertanggung jawab terhadap penyalahgunaan penggunaan NIK itu.
Belakangan ini, kata Pratama, masyarakat di Tanah Air dihebohkan kembali adanya penyalahgunaan NIK untuk registrasi kartu prabayar. Tak tanggung-tanggung, bahkan ada satu NIK untuk mendaftar 2,2 juta data nomor kartu prabayar.
Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) menegaskan bahwa provider adalah pintu pertama saat masyarakat mendaftarkan NIK dan KK-nya.
Sebelumnya, Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Dukcapil) Zudan Arif Fakrulloh mengungkap banyak NIK dari berbagai provider untuk mendaftar ribuan, bahkan ratusan nomor prabayar.
Menurut Pratama, Dukcapil hanya menerima dan melihat data dari provider. Dalam hal ini, seharusnya di pintu pertama provider sudah membatasi hanya tiga nomor.
“Bila satu NIK dan KK sampai jutaan nomor yang didaftarkan, tidak mungkin mereka tidak tahu,” kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi atau Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) ini.
Semua Provider Melanggar Oleh karena itu, pihaknya meminta Kemkominfo tegas terhadap para provider. Apalagi, dari data yang dibuka oleh Dukcapil semua provider melakukan pelanggaran tersebut.
“Seharusnya sudah ada perbaikan saat ada masyarakat yang melaporkan bahwa NIK dan KK-nya dipakai lebih dari 50 nomor prabayar,” katanya.
Tidak menutup kemungkinan pendaftaran ratusan ribu nomor dengan satu NIK dan KK itu, kata Pratama, dilakukan dengan sengaja untuk bisa menjual nomor prabayar yang sudah telanjur turun kepada penjual ritel. Namun, ini tidak bisa menjadi pembenaran, bahkan ini juga melanggar UU ITE Pasal 30 dan Pasal 32.