Ahli Ekonomi Jepang dari Tokyo University, Hiroshi Yoshida mengatakan bahwa pada saat ini 27% penduduk Jepang adalah orang tua. Sebagai perbandingan di AS adalah 15%. Para pakar memprediksikan rasio orang tua di Jepang akan mencapai 40% pada tahun 2050. Sebuah populasi yang menua ini akan mengakibatkan beban biaya tinggi bagi pemerintah.
“Ini berakibat pada minimnya biaya pensiun dan keamanan sosial/ kesehatan. Ini juga berakibat kurangnya orang untuk merawat para orangtua, pertumbuhan ekonomi melambat, dan kurangnya pekerja muda produktif,” ujarnya.
Bom waktu seperti ini akan sangat sulit untuk diredakan karena ia dibentuk selama tahunan bahkan dekade, yang dimulai dari era setelah Perang Dunia II. Pada awal 1950an, Perdana Menteri Jepang Shigeru Yoshida memprioritaskan pembangunan ekonomi. Usahanya berhasil; sekarang Jepang adalah negara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia. Namun perkembangan ekonomi ini memiliki dampak menurun pada aspek lain.
Pada awal tahun 1950, tingkat kesuburan di Jepang cukup sehat yaitu 2,75 anak per wanita. Pada tahun 1960, ketika industri memerlukan banyak tenaga kerja, fertilitas ini menurun menjadi 2,08. Pada tahun-tahun tersebut, partisipasi wanita dalam lembaga pendidikan dan lahan pekerjaan juga meningkat drastis. Tingkat pendaftaran wanita di perguruan tinggi menjadi 40%. Namun peningkatan ini dibarengi dengan turunnya tingkat fertilitas.
apalagi kalau LGBT berkembang, makin terancam deh keberlangsungan populasi manusia
Kejayaan setiap negeri ada masanya. Dibalik kemajuan dan pencapaiannya, sebuah krisis besar mengintai.