NAYPYDAW – Myanmar menegaskan menolak bekerjasama dan melarang tim pencari fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) soal Rohingya memasuki negerinya.
Tim pencari fakta tersebut dibentuk oleh PBB untuk menyelidiki dugaan pembunuhan, perkosaan hingga penganiayaan yang dilakukan tentara terhadap warga minoritas Muslim Rohingya di Myanmar.
“Jika mereka akan mengirim seseorang sehubungan dengan misi pencarian fakta, maka tidak ada alasan bagi kami untuk membiarkan mereka datang,” kata Kyaw Zeya, pejabat senior Kementerian Luar Negeri Myanmar, Jumat (30/6), seperti dikutip dari Reuters.
Kemenlu Myanmar pada hari yang sama telah menginstruksikan kedutaan besarnya di seluruh dunia untuk tidak mengeluarkan visa bagi anggota misi pencari fakta yang disetujui PBB. Hal ini sesuai dengan posisi pemerintahan Myanmar di bawah Aung San Suu Kyi yang menegaskan tidak akan bekerja sama dengan tim PBB untuk mencari solusi terkait penderitaan warga Rohingya.
Myanmar yang secara de facto dipimpin peraih Hadiah Nobel Aung San Suu Kyi sudah berkali-kali menyangkal tuduhan penindasan terhadap komunitas muslim Rohingya di negara bagian Rakhine. Tapi, bukti citra satelit, pengakuan korban yang kini mengungsi serta laporan para aktivis menyatakan sebaliknya.
Meskipun Suu Kyi secara de facto berkuasa di Myanmar setelah partainya memenangkan pemilu pada tahun 2016, akan tetapi militer masih memegang kendali penting negara tersebut.
Suu Kyi telah dikritik karena gagal membela lebih dari 1 juta muslim Rohingya tanpa kewarganegaraan di negara bagian Rakhine.
Dalam lawatan ke Swedia bulan lalu, Suu Kyi justru malah menyalahkan misi penyelidik PBB.
“Misi PBB akan menciptakan permusuhan yang lebih besar di antara komunitas yang berbeda,” katanya.
Mayoritas di Rakhine adalah umat Buddha. Kelompok mayoritas Myanmar tersebut memandang warga Rohingya sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.
Sekitar 75.000 warga Rohingya melarikan diri dari negara bagian Rakhine ke Bangladesh barat pada akhir tahun 2016 setelah tentara Myanmar melakukan operasi keamanan di awal Oktober lalu. Operasi militer itu sebagai respons atas serangan gerilyawan Rohingya yang menewaskan sembilan polisi perbatasan.
Berdasarkan keterangan saksi korban, tim penyelidik hak asasi manusia PBB dan organisasi hak independen menyebut tentara dan polisi Mynmar membunuh dan memperkosa warga sipil dan membakar lebih dari 1.000 rumah selama operasi tersebut.
Rohingya menghadapi diskriminasi besar di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha dan merupakan sasaran kekerasan antar-komunal pada 2012 yang menewaskan ratusan orang dan menyebabkan sekitar 140.000 orang terusir dari rumah mereka ke kamp-kamp pengungsian.
PBB dalam sebuah laporan yang diterbitkan Februari mengatakan bahwa militer Myanmar bertanggung jawab atas pembunuhan massal dan pemerkosaan terhadap kelompok Rohingya.
Laporan PBB yang salah satunya bersumber dari wawancara pengungsi Rohingya menyatakan bahwa “sangat mungkin” tindakan militer terhadap komunitas Rohingya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan diduga masuk kategori pembersihan etnis.
Dewan Hak Asasi Manusia PBB menyetujui misi pencari fakta dengan konsensus pada Maret lalu sebagai tanggapan atas tekanan internasional. Pada Mei, Komite tersebut menunjuk tiga ahli hukum dan pendukung hak asasi manusia untuk memimpinnya.
Tim penyelidik PBB sendiri terdiri dari Indira Jaising, seorang advokat dari India, ditunjuk untuk memimpin misi tersebut pada bulan Mei. Dua anggota lainnya adalah pengacara Sri Lanka, Harvard Radhika Coomaraswamy dan konsultan Australia Christopher Dominic.
Oktober lalu, tentara Myanmar meluncurkan operasi militer di daerah Rohingya di Negara Bagian Rakhine barat, menyusul pembunuhan sembilan penjaga perbatasan. (IwanY)
kalau tidak ada berada, tak kan tempua bersarang rendah….
pasti ada apa-apanya….