KOLOMBO, SERUJI.CO.ID – Setelah pemerintah Sri Lanka menerapkan undang-undang darurat, pada Rabu (7/3), pemerintah kemudian memblokir akses terhadap jaringan media sosial seperti Facebook sebagai upaya untuk menghentikan kekerasan terhadap kelompok minoritas Muslim.
Ketegangan sosial antara kedua kelompok mulai meninggi di negara dengan penduduk mayoritas Buddha itu sejak tahun lalu. Sejumlah kelompok garis keras Buddha menuding komunitas Muslim telah memaksa orang untuk berpindah agama dan merusak sejumlah situs arkeologis Buddha.
Kelompok itu juga memprotes kehadiran para pencari suaka Muslim Rohingya di Sri Lanka yang mengungsi dari Myanmar.
Saat ini, pihak kepolisian sudah menerapkan jam malam di distrik kawasan pegunungan tinggi Kandy. Wilayah itu sudah menjadi titik panas kekerasan sejak Ahad (4/3), menyusul kematian seorang pemuda Buddha setelah bentrok dengan sekelompok orang Muslim.
Sejak tadi malam, massa menyerang sejumlah masjid dan tempat-tempat usaha milik orang Muslim, kata sejumlah warga kepada Reuters.
Juru bicara kepolisian Ruan Ruwan Gunasekara mengatakan bahwa telah terjadi “sejumlah insiden” pada Selasa malam di Kandy, daerah yang terkenal atas kebun-kebun tehnya.
“Polisi telah menangkap tujuh orang. Tiga petugas kepolisian terluka akibat insiden itu,” kata Gunasekara kepada Reuters. Hingga kini tidak ada informasi mengenai seberapa banyak warga sipil yang menjadi korban, kata dia.
Sejumlah insiden kekerasan terjadi karena dipicu oleh unggahan di media sosial Facebook, kata pemerintah setempat.
Pada Rabu, pemerintah resmi memblokir Facebook, Viber, dan Wahtsapp di seluruh bagian negara selama tiga hari.
Sri Lanka adalah negara yang masih memulihkan diri dari perang saudara yang berlangsung selama 26 tahun antara kubu pemerintah dengan gerilyawan Tamil. Perang itu baru berakhir tahun 2009, disertai dengan laporan pelanggaran hak asasi manusia dari kedua belah pihak.