Setia Hati

Cerita ini adalah kisah hidup seorang pendekar bernama Ki Ngabehi Suro Diwiryo. Ia yang punya nama kecil Mohammad Masdan ini, dikenal memiliki kemauan untuk belajar ilmu silat dan ilmu batin sangat luar biasa. Suratan takdir membawanya ke tanah Sunda, Padang bahkan Aceh, sehingga memberi kesempatan belajar ilmu-ilmu silat peninggalan leluhur di Nusantara. Ilmunya kelak diwariskan ke perkumpulan silat yang bernama Persaudaraan Setia Hati.

Kehebatan Ki Ngabehi Suro Diwiryo bagaikan magnet yang mengundang rasa penasaran para jagoan silat di Surabaya. Seorang anak bangsawan kaya di Surabaya bernama RM Apuk yang menguasai silat aliran Jawa Timur menantang Ki Ngabehi Suro Diwiryo. Ki Ngabehi bersedia meladeni tantangan RM Apuk. Ki Ngabehi ternyata dengan mudah mengatasi silat yang dikuasai RM Apuk. Karena merasa malu, RM Apuk bertekad menantang kembali nanti setelah berguru silat ke daerah Priangan.

Setelah merasa mahir, RM Apuk kembali menantang Ki Ngabehi Suro Diwiryo. Ki Ngabehi yang sudah sangat berpengalaman menimba ilmu melalui pertarungan, berusaha dengan sabar memberi pelajaran untuk RM Apuk. Ki Ngabehi memahami betul apa aliran silat yang dimainkan RM Apuk. Sebaliknya, RM Apuk tidak mengetahui aliran silat apa yang digunakan Ki Ngabehi. Sehingga di akhir pertarungan ketika RM Apuk bisa menyudutkan Ki Ngabehi di sudut jendela terbuka, RM Apuk berteriak menantang : “Ayo, bergerak!”. Namun tiba-tiba tanpa ia sadari, ia dilempar keluar jendela oleh Ki Ngabehi.

RM Apuk adalah seorang ksatria. Ia mengakui kehebatan Ki Ngabehi Suro Diwiryo. Ia pun memohon dimasukkan ke dalam persaudaraan STK karena juga ia punya sahabat yang sudah menjadi anggota persaudaraan. RM Apuklah yang berusaha menolong Ki Ngabehi Suro Diwiryo dari kecurigaan Belanda saat terjadi pergerakan Sarekat Islam di Solo. Ki Ngabehi Suro Diwiryo berhenti dari jabatannya sebagai polisi dan pergi ke tegal tempat pamannya RM Apuk.

Dua tahun berikutnya, Ki Ngabehi Suro Diwiryo diminta kembali ke Surabaya oleh saudara-saudara STK dan dicarikan pekerjaan pada jawatan kereta api. Ki Ngabehi Suro Diwiryo yang berumur 29 tahun kemudian menikah dengan Sariyati yang berumur 17 tahun.

Tiga tahun kemudian, terjadilah perang dunia yang pertama. Negeri Belanda sibuk menyiapkan angkatan perangnya. Keadaan perang ini menyebabkan tingkat kewaspadaan semakin tinggi, sehingga perlu memindahkan berbagai hal keluar Surabaya, termasuk Ki Ngabehi Suro Diwiryo dan beberapa orang lainnya ke kota Madiun.

Di Kota Madiun, Ki Ngabehi tidak bisa berlama-lama berdiam diri. Kecintaannya terhadap ilmu silat membuat ia terus berlatih dan menularkan ilmunya ke orang lain. Ketika Ki Ngabehi menularkan ilmunya saat itu juga ia belajar hal yang baru, dan itu sangat disukainya.

Ki Ngabehi kemudian tinggal di Winongo, dan bersama keluarga persaudaraan STK, pelajaran silatnya diberi nama Joyo Gendilo Cipto Mulyo. Permainan silat ajaran Ki Ngabehi Suro Diwiryo semakin terkenal di Madiun ketika diminta untuk ditampilkan pada acara Pasar Malam. Para pemain silat menampilkan gerakan-gerakan memukau dengan berbagai aliran termasuk aliran Minangkabau.

Untuk menampung anggota yang semakin banyak, sekaligus mempertimbangkan dasar persaudaraan yang lebih mementingkan niat yang suci untuk kebaikan, maka pelajaran silat yang bernama Joyo Gendilo Cipto Mulyo diubah menjadi Persaudaraan Setia Hati atau disingkat SH.

Ki Ngabehi Suro Diwiryo belajar silat bukan untuk mencari musuh. Hal ini selalu ditanamkan kepada saudara-saudaranya di Persaudaraan Setia Hati. Ikatan saudara berarti sakit dan gembira ditanggung bersama. Dengan persaudaraan, silat digunakan untuk saling mengenal dan saling belajar. Oleh karena itu, setiap pendekar yang ingin mencoba mutu silatnya, tetap dilayani dengan baik tanpa harus bermusuhan.

Ketika panitia pasar malam di Madiun menyelenggarakan lomba silat, saudara-saudara dari Setia Hati selalu menjadi juara. Tetapi, Ki Ngabehi Suro Diwiryo melihatnya bukan sesuatu yang baik, karena akan membawa kepada kesombongan. Oleh karena itu kemudian diputuskan agar para saudara di SH tidak lagi ikut mengambil bagian. Begitu pula agar juga tidak mengikuti pertunjukan-pertunjukan yang menampilkan keahlian silatnya.

Kecintaan pada ilmu silat tidak membuat Ki Ngabehi Suro Diwiryo sombong, bahkan semakin rendah hati. Ia belajar dan mengajari pun demi ilmu, bukan kekuasaan atau bahkan harta. Persaudaraan yang didirikannya tidak pernah digunakan untuk menekan orang lain, apalagi untuk berkuasa. Siapa yang sudah menjadi saudara, maka selamanya adalah saudara. Barang siapa melanggar aturan persaudaraan, maka ia harus menanggung sendiri akibat-akibatnya.

Di penghujung hidupnya, Ki Ngabehi mewariskan 35 jurus pencak dasar yang diberi nama sesuai aliran yang pernah dipelajarinya, seperti Cimande I, II dan seterusnya, Ciampea I, II dan seterusnya. Sedangkan ada satu jurus yang tidak diwariskan yaitu jurus Terlakan Monyetan-tukang, karena hanya digunakan untuk urusan yang menyangkut hidup dan mati.

Kerendahatian dan kecintaan kepada ilmu silat dari Ki Ngabehi Suro Diwiryo diwujudkan dalam wasiatnya dengan memberikan rumahnya sebagai tempat berkumpulnya saudara-saudara SH sepeninggalnya kelak. Hingga kini, ajaran Ki Ngabehi Suro Diwiryo masih tetap dilestarikan dan bahkan berkembang sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia.

Sikap Ki Ngabehi yang patut ditiru adalah kecintaannya terhadap ilmu dan belajar, serta selalu hormat kepada orang lain terutama pada guru-gurunya. Ia tidak pernah berusaha untuk berkuasa, lebih suka menjalin persaudaraan untuk saling tolong menolong. Ki Ngabehi Suro Diwiryo sangat rendah hati sehingga bahkan tidak mau disebut guru, walau tidak diragukan kehebatan silatnya. (Tamat…)

(Catatan : Cerita ini adalah fiksi, namun berdasarkan kisah dari mulut ke mulut dan sumber-sumber di internet. Beberapa nama mungkin sesuai dengan sejarah yang sesungguhnya, mungkin pula tidak)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama