Jika Hernando Cortez berhasil merampas timbunan emas dan perak suku Aztec di Meksiko, dan  Fransisco Pizarro menjarah kekayaan bangsa Inca di Peru, maka hal yang sama dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa berabad lamanya menjarah kekayaan alam dan budaya Nusantara. Treaty of London 1824 memberi kekuasaan kepada Belanda untuk menguasai Nusantara dan Inggris untuk menguasai Malaya. Harta pusaka kerajaan Nusantara telah diangkut ke negeri Belanda dan Inggris itu, semisal mahkota dan keris pusaka raja-raja, perhiasan emas permata, Patung Ken Dedes, serta naskah-naskah manuskrip kuno yang tak ternilai harganya; rontal Negara Kertagama, lontara La Galigo untuk menyebutkan beberapa diantaranya. Penjarahan artefak-artefak budaya itu diiringi upaya-upaya kaum orientalis untuk membelokkan narasi sejarah Nusantara dan kudeta budaya demi melanggengkan penjajahan dan pengaruhnya.

Anak-anak bangsa Nusantara tak pernah lelah melawan upaya penjajahan itu, sehingga Belanda memerlukan 300 tahun untuk benar-benar menguasainya. Dari rahim Nusantara lahir para pejuang untuk mempertahankan eksistensi bangsanya, deretan nama seperti Syekh Yusuf al Makassary, Tuanku Tambusai, Sultan Ageng Tirtayasa, Fatahillah, Sultan Hassanudin, Sultan Baabullah, Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Teuku Umar, Laksamana Malahayati, Untung Suropati, I Gusti Ketut Jelantik, Pangeran Antasari, Sisingamangaraja, Ahmad Lussy, serta Martha Christina Tiahahu. Bangsa Nusantara bukanlah bangsa pengecut, seperti dibuktikan oleh perlawanan-perlawanan bersenjata sepanjang sejarahnya. Sebuah semangat yang terus mencari takdirnya untuk mencapai kemerdekaan dan harga diri bangsanya.

Pena sejarah membuktikan bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah pemberian penjajah, tetapi “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” melalui perjuangan seluruh rakyat yang merebutnya. Tujuh belas tahun setelah sumpah setia para pemuda untuk berbangsa, bertanah air dan berbahasa satu, Soekarno dan Hatta, berhasil memproklamasikan kemerdekaan politik dan administrasi, pada 17 Agustus 1945. Kedua bapak bangsa bersama tokoh-tokoh lainnya telah berhasil menghidupkan harapan negeri-negeri Nusantara,mengantarkan rakyat Nusantara ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Nusantara, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”, dicatat dalam sejarah tentang keberhasilan menjalani takdirnya melewati jembatan emas kemerdekaan.

Mempertahankan kedaulatan negara pasca proklamasi 1945 adalah sebuah perjuangan panjang yang sungguh melelahkan. Rapat raksasa dibawah todongan senjata tentara Jepang di lapangan Ikada 19 September 1945 berhasil mengumpulkan sejuta rakyat membulatkan tekad untuk mempertahankan kebebasan yang telah diproklamirkan. Belanda membonceng AFNE (Allied Forces Netherlands East Indies) dengan pasukan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) melalui program Rehabilitation Allied Prosoners of Wars and Internees berupaya merebut kembali tanah Nusantara. Kedatangan Inggris dan Belanda itu mencetuskan resolusi jihad Nahdatul Ulama 22 Oktober 1945 yang mewajibkan seluruh rakyat melawan penjajah Belanda dalam radius keliling 94 kilometer. Kewajiban religius itu berhasil menggelorakan perlawanan rakyat, merobek warna biru bendera Belanda menjadi Sang Dwiwarna, Merah Putih.

Pidato lantang Bung Tomo memompa semangat arek-arek Surabaya, “Selama banteng-banteng Nusantara, masih mempunyai darah merah, yang dapat membikin secarik kain putih, merah dan putih, maka selama itu, tidak akan kita menyerah kepada siapapun juga. Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar, Merdeka!!”. Terbunuhnya Brigadir Jenderal Inggris bernama Mallaby mempermalukan pemenang Perang Dunia II itu mencetuskan peristiwa heroik Surabaya 10 November 1945. Jihad defensif itu sah adanya, sebagai kelanjutan perjuangan kaum pesantren penerus Diponegoro dan para pahlawan lainnya sepanjang sejarah Nusantara. Tersulut solidaritas muslim dunia, 400 tentara Gurkha muslim India melakukan desersi menolak bertempur dengan pejuang Surabaya.

Perlawanan rakyat terus berlanjut di Palagan Ambarawa 15 Desember 1945, Bandung Lautan Api 24 Maret 1946 dan di seluruh Bumi Nusantara dengan ratusan ribu martir dan syuhada. Melalui diplomasi yang ulet, disiarkan melalui Radio Rimba Raya di Aceh, Nusantara segera diakui oleh Mesir, Palestina, Tunisia, Maroko dan India yang menyebabkan penutupan Terusan Suez untuk kapal Belanda, serta mendorong para buruh pelabuhan Australia membuang koper-koper Belanda yang akan menjajah kembali Nusantara[1]. Kemerdekaan bangsa Nusantara dimaklumkan di padang Arafah diiringi doa para jamaah haji seluruh dunia yang sedang wukuf.

Meski mendapatkan pukulan bertubi-tubi dari negara-negara  kolonialis; agresi militer I, 20 Juli 1947 dan agresi militer II, 19 Desember 1948 Republik muda ini terus bertahan. Tekanan militer, penangkapan para pimpinan Republik dan strategi perundingan mengiringi upaya kaum kolonialis untuk membentuk negara-negara boneka dan memaksa Republik menjadi salah satu bagiannya, namun rakyat terus menolaknya. Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta meneguhkan eksistensi Republik, sebagaimana didirikannya Pemerintah Darurat di Sumatera Barat sebelumnya.

Akhirnya sebagai sebuah negara kesatuan Nusantara mendapatkan pengakuan dunia setelah Ronde-Tafelconferentie, 27 Desember 1949. Pengakuan itu tidaklah gratis, karena Belanda sang penjajah itu mensyaratkan republik muda ini menanggung hutang pemerintah Hindia Belanda sebesar 5,6 Milyar Gulden. Lalu presiden pertama pada kurun 1957-1959 melakukan langkah heroik dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda dan asing lainnya di sektor perbankan, pertambangan, perkebunan dan industri maritim. Pemerintah Belanda menolak pengakuan kedaulatan Nusantara atas Papua dan Maluku dan baru mengakuinya pada tahun 2000. Kedaulatan adalah modal utama sebagai legitimasi penguasaan negara atas seluruh kekayaan alam, sumberdaya manusianya, mendorong karya dan budaya demi meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat.

Negara harus mencatat kekayaan di dalam perut pulau-pulau itu untuk mengamankannya dari upaya penjarahan oleh bangsa asing. Surah Al Baqarah ayat 282 sebagai cikal-bakal akuntansi memerintahkan untuk mencatat transaksi; “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, ….”  

Pada saatnya, lembaga negara bernama BPK melakukan pemeriksaan terhadap seluruh kekayaan negara, tak terkecuali pelaksanaan kontrak-kontrak karya pertambangan asing terbesar di Nusantara. Tujuan didirikannya lembaga auditor negara itu untuk memastikan kekayaan negara terkelola dengan sebaik-baiknya serta terjaga kelestariannya, selain agar anggaran negara dibelanjakan secara efektif, efisien dan ekonomis untuk seluruh rakyat melalui pemeriksaan keuangan, kinerja atau dengan tujuan tertentu. Sebab, rakyat Nusantara telah bersabar hampir tujuh dekade lamanya dengan janji kesejahteraan sebagai buah kemerdekaan yang dulu mereka berdarah-darah memperjuangkannya.

@@@

[1] Saat itu para buruh yang banyak berafiliasi dengan partai buruh Australia bersimpati kepada negeri yang baru lahir di utara, dengan menolak mengangkut barang-barang milik Belanda yang ingin menjajah kembali Nusantara.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama