Selain mengupayakan untuk memenangkan konsorsium PNRI, Andi Agustinus juga bertemu dengan Paulus Tannos, Anang Sugiana Sudihardjo, Johannes Marliem, dan Isnu Edhi Widjaya. Dalam pertemuan itu disepakati “fee” yang akan diberikan kepada Setnov lebih kurang sebesar 5 persen dan disepakati skema pembagian beban “fee” kepada beberapa anggota DPR dan pejabat Kemendagri yang rinciannya adalah:
a. PT Sandipala Artha Putra bertanggungjawab memberikan fee kepada Gamawan Fauzi melalui Asmin Aulia sebesar 5 persen dari nilai pekerjaan yang diperoleh.
b. PT Quadra Solution bertanggungjawab memberikan fee kepada Setya Novanto sebesar 5 persen dari jumlah pekerjaan yang diperoleh.
c. Perum PNRI bertanggungjawab memberikan fee kepada Irman dan stafnya sebesar 5 persen dari jumlah pekerjaan yang diperoleh.
d. Keuntungan bersih masing-masing anggota konsorsium setelah dipotong pemberian fee tersebut adalah sebesar 10 persen.
Skema pemberian fee tersebut dilaporkan kepada Setnov oleh Irman, Andi, Anang Sudihardjo dan Paulus Tannos. Atas laporan itu, Setya Novanto menyetujuinya Pada 21 Juni 2011, Mendagri Gamawan Fauzi menetapkan Konsorsium PNRI sebagai pemenang lelang dengan harga penawaran Rp5,84 triliun.
Namun pada September-Oktober 2011 di rumah Setnov, Paulu melaporkan konsorsium PNRI tidak mendapat uang muka pekerjaan sebagai modal kerja. Paulus lalu minta petujuk dan Setnov memperkenalkan orangnya yaitu Made Oka Masagung yang punya relasi ke banyak bank.
“Terdakwa juga menyampaikan adanya ‘commitment fee’ yang merupakan jatah untuk terdakwa dan anggota DPR RI sebesar 5 persen dari nilai proyek,” ungkap jaksa.
Setnov lalu meminta Andi dan Paulus kembali bertemu di rumahnya dan memperkenalkan Made Oka Masagung kepada Paulus Tannos dengan tujuan untuk membantu masalah finansial proyek KTP-el dan menyampaikan “fee” jatah Setnov dan anggota DPR disampaikan melalui Made Oka Masagung.
Sekitar September 2011, Paulus Tannos dan Anang Sugiana bertemu Made Oka Masagung di cafe di Oakwood Apartement Jakarta. Dalam pertemuan itu Paulus Tannos menyampaikan permintaan bantuan kepada Made Oka Masagung dan disanggupi dengan cara memperkenalkan Paulus dan Anang ke beberapa bank.
Pada Desember 2011, Chairuman menelepon Irman untuk menagih fee 5 persen yang sudah disepakati, selanjutnya Setnov dan Chairuman bertemu dengan Andi Agustinus dan Paulus Tanno di gedung Equity Tower dimana Setnov dan Chairuman menagih komitmen tersebut.
Sebagai tindak lanjut, Andi Agustinus, Paulus Tannos, Anang Sugiana bertemu di apartemen Pacific Place dan menyepakai “fee” sebear 3,5 juta dolar AS untuk Setnov akan direalisasikan oleh Anang Sugiana dan dananya diambilkan dari bagian pembayaran PT Quadra Solution kepada Johannes Marliem melalui perusahaan Biomorf Mauritius dan PT Biomorf Lone Indonesia.
“Dengan cara mentransfer ke rekening Made Oka Masagung di Singapura dan yang akan menyerahkan kepada terdakwa adalah Made Oka Masagung. Untuk itu Johanes Marliem akan mengirim beberapa invoice kepada Anang Sugiana sebagai dasar untuk pengiriman uang sehingga seolah-olah pengiriman uang tersebut merupakan pembayaran PT Quadra Solution kepada Biomorf Mauritius atau PT Biomorf Lone Indonesia,” ungkap jaksa Ahmad Burhanuddin.
Selain itu Anang juga bertemu dengan Johannes dan Sugiharto untuk membahas jumlah “fee” yang akan diberikan kepada Setnov yang rencananya akan diberikan sejumlah Rp 100 miliar namun jika tidak memungkinkan hanya akan diberikan sejumlah Rp 70 miliar.
Jumlah itu merupakan bagian dari total kerugian negara senilai Rp 2,314 triliun dari proyek senilai Rp 5,9 triliun.
“Terdakwa Setya Novanto bersama dengan Irman, Sugiharto, Andi Agustinus alias Andi Narogong dan Anang Sugiana Sudiharjo, Isnu Edhi Wijaya, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, Made Oka Masagung, Diang Angraeni dan Drajat Wisnu Setyawan melakukan intervensi dalam proses penanggaran dan pengadaan barang/ jasa paket pekerjaan penerapan KTP berbasis nomor Induk Kependudukan (NIK) secara nasional (KTP Elektronik) yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,314 triliun,” kata jaksa.
Setnov didakwakan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. (Ant/SU02)