JAKARTA – Dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (KTP-el), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman, hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan.
KPK juga menuntut Sugiharto, mantan pegawai Kemendagri bawahan Irman, dengan hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsidair 6 bulan kurungan.
“Kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dan secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana diungkapkan dalam dakwaan kedua,” ujar ketua tim jaksa penuntut umum Irene Putrie saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (22/6).
Menurut jaksa, perbuatan para terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi.
Akibat perbuatan para terdakwa yang bersikap masif, yakni menyangkut kedaulatan pengelolaan data kependudukan nasional, hingga saat ini dampaknya masih dirasakan masyarakat.
Menurut jaksa, hingga saat ini banyak masyarakat yang masih belum memiliki KTP-el.
Selain itu, Irman yang dianggap mempunyai otoritas untuk mencegah terjadinya korupsi, malah menjadi bagian dari kejahatan. Sebagai hal yang juga memberatkan, perbuatan kedua terdakwa telah menimbulkan kerugian negara cukup besar, hingga Rp 2,3 triliun.
Kedua terdakwa juga diyakini ikut memperkaya orang lain dan korporasi. Dalam surat dakwaan kasus itu, tercantum puluhan nama yang diduga terlibat, mulai dari pemenang tender hingga Anggota DPR.
Menurut jaksa, kedua terdakwa terlibat dalam pemberian suap terkait proses penganggaran proyek KTP-el di DPR RI, untuk tahun anggaran 2011-2013. Selain itu, keduanya terlibat dalam mengarahkan dan memenangkan perusahaan tertentu untuk menjadi pelaksana proyek pengadaan KTP-el.
Oleh karenanya, jaksa memberikan tuntutan tambahan kepada kedua terdakwa untuk mengembalikan sejumlah uang yang dianggap sebagai keuangan negara yang dirampas dalam jalannya proyek KTP-el.
Untuk Irman, jaksa meminta pengembalian uang negara sejumlah USD 273.700, Rp 2,298 miliar, dan SGD 6.000. Jika tidak dibayar, maka akan diganti hukuman 2 tahun penjara.
Sementara untuk Sugiharto, jaksa juga membebani Rp 500 juta. Apabila tak bisa dibayar setelah Sugiharto memperoleh kekuatan hukum tetap, maka dipidana dengan 1 tahun penjara.
Jumlah tersebut selambat-lambatnya dibayar ke negara satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
“Jika dalam jangka waktu tersebut terdakwa tidak membayar uang pengganti maka harta bendanya disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai uang yang cukup untuk membayar pengganti maka dipidana penjara selama 2 tahun,” tutur jaksa.
Uang-uang yang telah diterima Irman dan Sugiharto sebagian telah dikembalikan ke negara melalui KPK. Irman telah mengembalikan Rp 50 juta dan USD 300 ribu. Sedangkan Sugiharto telah mengembalikan sebuah mobil Honda Jazz dan uang Rp 277 juta.
Sebelum sidang ini digelar, pengacara Irman dan Sugiharto, Soesilo Aribowo, mengatakan dua kliennya telah membeberkan korupsi KTP-el yang sistemik, dengan jujur dan jelas. Soesilo berharap pengakuan dua kliennya dapat membuka kasus sehingga para pelaku lain dapat dijerat.
“Dalam persidangan fakta-fakta sudah diungkapkan semua,” kata Soesilo.
Jaksa menilai keduanya terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (IwanY)