JAKARTA, SERUJI.CO.ID – Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan defisit neraca perdagangan merefleksikan kebutuhan bahan baku maupun barang modal di dalam negeri yang dibutuhkan untuk produksi.
“Kalau impornya dalam bentuk bahan baku dan barang modal, maka dia merupakan suatu indikator yang cukup sehat dari sisi industri manufaktur maupun investasi,” kata Sri Mulyani di kantor pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Jakarta, Kamis (15/2).
Pernyataan Sri Mulyani tersebut menanggapi neraca perdagangan Indonesia yang mengalami defisit 676,9 juta dolar AS pada Januari 2018.
“Kalau kita melihat dari sisi komponennya, memang (defisit) ini akan selalu menjadi sesuatu yang perlu dijaga,” ucap dia.
Sri Mulyani juga mengatakan kemampuan untuk mendorong ekspor dan meningkatkan arus masuk modal di Indonesia menjadi penting supaya defisit yang berasal dari impor tidak menimbulkan persepsi mengenai risiko eksternal.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan peningkatan harga migas menjadi salah satu penyebab penambahan nilai impor.
Ia mengatakan bahwa kebijakan yang akan diambil untuk menekan defisit perdagangan adalah melalui upaya peningkatan ekspor.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia pada Januari 2018 mencapai 14,46 miliar dolar AS sementara impor pada periode yang sama mencapai 15,13 miliar dolar AS.
Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan nilai ekspor Indonesia Januari 2018 menurun 2,81 persen dibanding ekspor Desember 2017. Sementara dibanding Januari 2017 meningkat 7,86 persen.
Kemudian, impor Indonesia pada Januari 2018 meningkat 0,26 persen dibandingkan Desember 2017. Namun, jika dibandingkan dengan Januari 2017, kenaikannya mencapai 26,44 persen.
Nilai impor semua golongan penggunaan barang baik barang konsumsi, bahan baku dan barang modal selama Januari 2018 mengalami peningkatan dibanding bulan yang sama tahun sebelumnya masing-masing 32,98 persen, 24,76 persen, dan 30,90 persen. (Ant/SU02)