MALINAU, SERUJI.CO.ID – Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Utara (Jatam Kaltara) bersama Lembaga Advokasi Lingkungan Hidup Kalimantan Utara (Lalingka) melayangkan surat permohonan untuk mengakses informasi data-data perusahaan pertambangan.
“Surat permohonan tersebut ditujukan ke Dinas Lingkungan Hidup Daerah (DLHD) Kabupaten se-Kaltara, Dinas ESDM Kaltara, Dinas Kehutanan Kaltara, dan Bappeda Kaltar,” kata koordinator Jatam Kaltara Theodorus GEB melalui rilis yang diterima SERUJI, Senin (29/1).
Organisasi Perangkat Daerah (OPD) DLHD yang dimaksud antara lain DLHD Kabupaten Bulungan, Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, dan Kabupaten Tana Tidung.
Theo mengungkapkan, data yang diminta adalah dokumen AMDAL yang berisikan (Ka. Andal, Amdal, RPL, dan RKL), bukti setor penempatan Jaminan Reklamasi (Jamrek), bukti setor Jaminan Pasca Tambang, Izin Pembuangan Limbah Cair (IPLC), Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), dan dana RTRW Provinsi Kaltara.
Permohonan ini, kata Theo, diajukan secara serentak pada Senin (29/1), dengan menggunakan dasar UU No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
“Bahwa publik harus mengetahui tentang keberadaan pertambangan yang ada di Kalimantan Utara. Publik juga harus mengetahui apakah Izin Usaha Pertambangan taat atau sebaliknya,” tuturnya.
Pihaknya menjelaskan, seperti tertuang dalam UU No.14 tahun 2008, apabila permohonan ini tidak ditanggapi oleh dinas terkait, maka Jatam Kaltara bersama Lalingka akan melayangkan keberatan kepada Bupati dan Gubernur sebagai atasan OPD yang dimohon informasinya.
“Kemudian jika tidak juga diindahkan, maka kami akan melayangkan Surat Gugatan Informasi Publik ke KIP di Jakarta,” katanya.
Alasannya kenapa harus ke Jakarta, Theo menjelaskan, karena sampai hari ini KIP Provinsi Kaltara belum terbentuk. Padahal UU No 14 tahun 2008 tentang KIP sudah memerintahkan bahwa Pemerintah Daerah harus segera membentuk KIP di daerah.
Lebih lanjut Theo menerangkan, alasan permohonan keterbukaan informasi ini dilayangkan karena kejadian beberapa waktu terakhir.
“Perusahaan pemegang IUP tidak taat aturan yaitu melakukan pelanggaran pencemaran sungai, kemudian diduga menunggak PNBP, tidak membayar Jamrek, tidak membayar Jaminan Pasca Tambang, iuran tetap (land rent), serta adanya indikasi perusahaan yang merambah kawasan hutan tanpa mengantongi IPPKH, contohnya kasus tambang emas ilegal di desa Long Top,” terangnya.
Jika ditemukan data-data yang bermasalah, lanjut Theo, pihaknya akan segera melaporkan ke Dinas ESDM Kaltara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Kementerian ESDM.
“Dan jika ada indikasi korupsinya, kami juga akan melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” pungkasnya. (SHD/SU05).